Matahari mulai menenggelamkan dirinya disebelah
barat dengan memberi sinar yang meredup, sekeliling taman taklagi mendapatkan
cahaya, terhalang oleh gedung yang mengeliliginya.
Anak-anak bercanda, bergurau tertawa melihatkan
kebahagian, bermain dengan teman-temanya yang terlihat begitu senang tanpa ada
beban dalam pikiranya.
Lampu taman Apartemen menyala mulai menerangi
sekililing taman.
Aku nikmati sore ini dengan duduk ditaman,
menunggu temanku yang akan datang untuk sekedar melepas penat.
Berjalan dengan wajah yang memberi senyuman
ketawa kecil menandakan bahwa dirinya telah datang dengan rasa capek berjalan
2KM, dia duduk sampingku “Hallo Adi laksono”
sapa dia dengan mengambil posisi duduk sempurna hingga merasa nyaman
uruk mengatur nafas.
“Gimana tadi jadi ke Bursa Efek Indonesia?”
kata dia sambil melepaskan kacamata dan meletakanya disamping handphone nya.
Dia adalah Azam teman kuliah yang kini
sama-sama di Jakarta, berjuang untuk mencari kehidupan yang nyaman pekerjaan
yang sesuai dengan keinginan. Dia asli orang Ambon dengan pawakan yang sedikit
kurus potongn rambut cepak yang tak pernah melebihi 4cm panjang rambutnya,
dengan jambang yang menghiasi pinggiran wajahnya membuatnya terlihat cowok yang
benar-benar cowok.
“Aku gak jadi, Zam. Aku pikir-pikir kayaknya
yang ada untuk orang lulusan Akuntansi”. Pagi itu aku berniat mau mengunjungi
acara yang diadakan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia mereka mengadakan acara
seminar serta jobfair yang terdiri dari beberapa perusahaan yang membuka
lowongan. Sebagai seorang yang sedang mencari pekerjaan aku berpikir inilah
kesempatan untuk mecari yang langsung interview jadi langsung tahu apakah
diterima atau tidak. Namun itu tidak aku lakukan setelah berpikir bahwa ini
adalah acara Akuntansi yang berarti kemungkinan besar dan sudah jelas rekrutmen
juga untuk lulusan Akuntansi sedangkan aku lulusan Hukum.
“Iyalah, Di. Akuntansi makanya tempatnya juga
di BEI, nanti pas sampai sana ehh gak ada yang sesuai sama bidang kita,
pastilah kebanyakan juga buat yang lulusan Akuntansi. Kemarin waktu kau kirim
infonya itu aku juga… kok acara Akuntan Indonesia…” sambil melihat pandanganya
kearah seoarang anak yang sedang main perosotan. “Enak ya Dii kalo anak kecil
taunya main happy tanpa beban”.
“Iyalah Zam, namanya juga anak kecil” jawabku
sambil aku angkat kakiku untuk merubah posisi dudukku dengan bersila.
Suasana semakin meredup gelap sedikit-sedikit
datang membuat penerangan lampu taman apartemen mulai memperlihatkan cahayanya
yang menajam.
“Kau mau beneran pulang di Bulan ini, Di?”
tanya Azam yang menunjukan wajah serius sedikit kecewa tak ada aku tak ada lagi
temen yang nantinya diajak untuk sekedar menikmati kopi dan gorengan
dipinggiran jalan Apartemen.
Aku berencana untuk balik pulang Kebumen,
Setelah 6 bulan lebih keluar dari pekerjaanku, aku belum lagi mendapatkan
pekerjaan. Dompet yang hanya berisi dengan banyak kartu terkadang membuatku
pening. Obat resep Dokter tak mampu untuk mengobati peningku. Bagiku Jakarta
kota yang begitu menarik, berat rasanya untuk segera meninggalkanya. “Iya, Zam.
Rencana aku pulang bulan ini,tapi juga aku belum tau. Kayaknya juga gak bulan
ini juga sih, yang jelas kalau sampai sewa Apartemen ini habis belum dapet
kerja ya terpaksa aku pulang Kebumen” Jawabku dengan yakin.
Jam menunjukan pukul 17.23 suasana semakin sore
semakin gelap dengan gedung Apartemen yang mengelilinginya membuat gelap begitu
cepat, sedangkan jalanan masih ramai dengan suara klakson mobil serta suara KRL
yang bekali kali lewat disebelah timur Apartemen. Suara palang pintu yang
hampir setiap menit menutup suara palang pintu membuat ramai suara diwilayah
Apartemen.
Azam juga punya rencana untuk pulang ke Ambon
kalua ditahun ini sampai akhir tahun 2017 ini belum dapat kerja. Sebenarnya dia
sudah ada pekerjaan, pekerjaan yang belum formal biarpun begitu masih mending
Azam dibanding aku. Dia bekerja di BNN. “Aku juga kalau tahun ini gak dapet
kerja di Jakarta aku juga bakal balik Ambon, Di” dengan mengambil kacamata
mengelapnya di baju.
“Kampret, aku kalau ambil duit harus kesini.
Deket kosku gak ada ATM”. Azam menghela nafas membayangkan betapa kerenya jauh
jauh dari Pasar minggu baru ke Kalibata hanya untuk ambil duit dengan jalan
kaki.
Lagian juga aneh dia ini orang, sudah tau ATM
Jauh ehh ya kalau ngambil kok ya cuma 50ribu, ya mungkin dia anggap sekalian
jalan jalan dan berolah raga bolak balik Pasar minggu- Kalibata dengan harapan
bisa melihat cewek cantik disepanjang jalan yang dilewati maupun dalam
lingkungan Apartemen.
“Ridwan, Rina itu besok tesnya”
“Lha kok kau tau?” jawabku sambil berpikir
dalam sekilat, Azam ini sempet-sempetnya nyari dipengumuman nama-nama siapa
yang lolos.
“Taulah, Dii.. aku kan di BNN”
“Oh iya ya, lupa aku”
“Oohh kapan kita punya pasangan ya Di? Bener katamu
waktu itu diusia segini kalau kita kenalan dengan niat buat djadikan pacar ya
harus serius. Tidak seperti jaman kuliah apalagi sekolah, yang dengan mudahnya
nyari mudahnya putus gitu. Taunya jalan aja”.
“Iyalah Zam, sebenernya mah kalau kenalan
mudah-mudah aja. Menjadi penghambat mengurangi rasa percaya diri itu keadaan
kita yang belum kerja” aku berusaha mengajaknya untuk masuk dalam pikiranku
dengan ucapanku “Usia segini kalau kita dapat cewek yang seusia kemungkinan
besar putus dijalan kalau kita dalam waktu dekat tak kunjung dapet kerja”.
Aku menghela nafas masih merasakan rasanya
berahir hubungan dengan seorang perempuan yang begitu aku sayangi, jalan memang
tidaklah selalu lurus dan halus dan kendaraan pribadi juga masuk Busway.
Aku melanjutkan perkataanku, dan Azam begitu
mendengarkan dengan sesekali memlihat layar handphone nya.
“Sedangkan kita, kalau aku sih. Aku mau
menikmati hasil kerjaku sendiri dulu yaa buat beli baju, buat jalan jalan main
sama temen….”
“Betul, Di”. Azam nyambungkan dengan ucapanku
bahwa dia tak jauh beda pemmikiranya “Cewek seusia kita udah pada mau nikah
kalau kita masih nganggur mendingan gak deh, Di”
“Kita mending nyari yang usianya dibawah kita 4
atau 5 tahun itu lebih baik, tapi sih kalau…” Azam muli menunjukan bahwa ada
ketidaksetujuan juga dengan apa yang diuacapkanya.
Pengalaman yang telah diterimanya sewaktu
kuliah “Kalau dapet cewek masih kuliah kita dengan kondisi kek gini juga mereka
juga enggan, Di. Masih mending milih yang sama-sama masih kuliah, duit ada, mau
kemana mana tinggal jalan secara kan mahasiswa” lanjutnya.
Dengan segenap ucapanya aku mendengaran dengan
seksama yang sesekali mengangguk menunjukan bahwa benar dan setuju dengan apa
yang diucapkan oleh Azam.
“Kalau ada cewek yang saat ini mau dengan
kondisi kita, itu luar biasa, Di”
“Iyalah, Zam” jawabku singkat.
Seorang perempuan yang menerima dan mau
menunggu sampai dapet kerja, tidak buru-buru untuk minta nikah, itulah yang
kami harapkan. Memang menikah itu syaratnya tidak susah dan biaya tidak mahal,
bahkan gratis. Tapi yang jadi berat itu saat harus mengadakan resepsi, siapa
sih yang tidak menginginkan acara pernikahan yang meriah. Menikah sekali
mengikat janji untuk hidup bersama.
Kalau ada perempuan yang mengerti dengan
keadaan, perjuangan ini akan menambah semangat melebihi 2000 volt dan akan
terasa indah. Semangat yang membara.
Kebahagian menikah bagiku bukanlah seberapa
besar acaranya, seberapa megah, seberapa banyak tamunya. Bagiku bahagia itu
ketika berkumpul dengan keluarga dan teman, sahabat bisa menceritakan betapa
beruntung dan bahagianya aku bisa mendapatkan wanita yang aku cintai hingga
kini jadi istriku. Namun, lebih sempurna jika pesta dan acaranya megah, ramai
juga.
Sekeliling taman sudah sepi, tidak ada orang
yang duduk ditempat duduk taman yang melengkung terbuat dari cor semen dengan
warna silver yang mulai memudar. Terlihat satpam yang berjaga, satu orang
berdri sedang berbincang dengan seorang ibu-ibu, dan satunya duduk tangan
kananannya memegang telepon tangan kiri sibuk membuka lembaran lembaran kertas
dalam buku, seperti sedang mencari sesuatu untuk menjawab pertanyaan orang yang
menelpon.
Bulatan lampu taman menyinari sekitaran taman membuat
suasana semakin sendu, suara KRL terdengar sebelah timur yang merupakan
perlintasan KRL.
Jarum jam menunjukan pukul 17.47 terdengar
suara adzan bahwa magrib telah tiba.
“Udah magrib, Di. Kita ke Masjid?”
“Iya, ayo” jawabku dengan memutarkan badan
untuk meninggalkan tempat duduk yang kami duduki sore ini.
“Yuk” Azam mengambil hand phone dan kacamata,
mengenakan kacamata.
Kami berjalan menuju Masjid yang berada di
Tower Cendana selisih satu tower dengan tepat kami duduk.
Berjalan melewati Laundry, Ibu paruh baya sibuk
dengan lipatan bajunya merapihkan dan membungkusnya dengan plastic. Pemandangan
yang selalu aku liat tiap hari kalau ke Masjid. Magrib suasana yang berbeda
dengan suasana lainya.
Orang-orang berlalu lalang dengan barang
bawaanya, orang berjalan cepat bahwa ingin cepat sampai tujuan.
Kami berjalan, Azam berjalan dibelakangku
sambil sesekali menatap layar hand phone nya kedua jempol tanganya sibuk mengetik,
dua detik ia mendongak keplanya untuk memastikan tidak menabrak sesuatu karena
jalan focus dengan hand phone.
“Di”
“Ya?” kami terus berjalan bersimpangan dengan
banyak orang.
Terlihat orang sibuk dengan membereskan tempat
daganganya, begitu cekatan dalam merapihkan.
Dan kami melewati Indomaret, ya, aku selalu
mengambil jalan lewat depan Indomaret setiap kali aku ke Masjid. Tiap kali aku
berjalan depan seakan mataku ada yang menariknya dengan kuat, kakiku seakan
berjalan sendiri hidup sendiri taka da kaitanya dengan otak yang seharusnya
memerintahkanya untuk selalu melangkah mengambil jalan melewati depan
Indomaret.
Kaca bening dengan cahaya yang terang, sebelah
pintu terlihat perempuan dengan seragam berjilbab biru menarik pandanganku
untuk melihatnya, biarpun hanya dengan 3 detik tapi itu membuatku ingin
bahagia.
“Tuhh, Di cewek Indomaret, dia tuh cantik”.
“Itulah yang sering aku bicarakan”.
Dari awal aku tinggal di Apartemen setiap kali
ke Masjid itulah jalurku, terkadang sedih ketika tak melihat dia, ouhh kenapa
dengan diriku dia bukanlah siapa siapa sedangkan kenal saja tidak.
Berniat untuk kenalan, aku tau nama dia. Namanya
Vika aku liat di nota saat pertama kali beli disitu. Tidak hanya Indomaret yang
tower cendana, ada juga Indomaret yang tower gaharu. Dia bernama Sukma, sama
seperti tau nama Vika aku lihat dari nota.
Bibir ini serasa terjahit dengan ditambah lem
setiap kali mau berkenalan, berat rasanya untuk mengucap sekedar kata haii. Aku tak hentinya menatap ketika
tiba untuk membayar apa yang aku beli, pulsa, rokok, maupun lainya selalu aku
ke Inodmaret dengan bergantian tempat, selang seling.
Tiba kami menuruni tangga, dan sampailah di
Masjid. Masih ada waktu satu menit 12 detik sebelum Iqomah.
Perutku yang lapar, membuatku ingin memasukan
nasi dalam perutku. Setelah sholat magrib kami menuju warteg.
BROKER TERPERCAYA
BalasHapusTRADING ONLINE INDONESIA
PILIHAN TRADER #1
- Tanpa Komisi dan Bebas Biaya Admin.
- Sistem Edukasi Professional
- Trading di peralatan apa pun
- Ada banyak alat analisis
- Sistem penarikan yang mudah dan dipercaya
- Transaksi Deposit dan Withdrawal TERCEPAT
Yukk!!! Segera bergabung di Hashtag Option trading lebih mudah dan rasakan pengalaman trading yang light.
Nikmati payout hingga 80% dan Bonus Depo pertama 10%** T&C Applied dengan minimal depo 50.000,- bebas biaya admin
Proses deposit via transfer bank lokal yang cepat dan withdrawal dengan metode yang sama
Anda juga dapat bonus Referral 1% dari profit investasi tanpa turnover......
Kunjungi website kami di www.hashtagoption.com Rasakan pengalaman trading yang luar biasa!!!