16 Okt 2017

Kalibata Sore Hari

Matahari mulai menenggelamkan dirinya disebelah barat dengan memberi sinar yang meredup, sekeliling taman taklagi mendapatkan cahaya, terhalang oleh gedung yang mengeliliginya.
Anak-anak bercanda, bergurau tertawa melihatkan kebahagian, bermain dengan teman-temanya yang terlihat begitu senang tanpa ada beban dalam pikiranya.
Lampu taman Apartemen menyala mulai menerangi sekililing taman.
Aku nikmati sore ini dengan duduk ditaman, menunggu temanku yang akan datang untuk sekedar melepas penat.
Berjalan dengan wajah yang memberi senyuman ketawa kecil menandakan bahwa dirinya telah datang dengan rasa capek berjalan 2KM, dia duduk sampingku “Hallo Adi laksono”  sapa dia dengan mengambil posisi duduk sempurna hingga merasa nyaman uruk mengatur nafas.
“Gimana tadi jadi ke Bursa Efek Indonesia?” kata dia sambil melepaskan kacamata dan meletakanya disamping handphone nya.
Dia adalah Azam teman kuliah yang kini sama-sama di Jakarta, berjuang untuk mencari kehidupan yang nyaman pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Dia asli orang Ambon dengan pawakan yang sedikit kurus potongn rambut cepak yang tak pernah melebihi 4cm panjang rambutnya, dengan jambang yang menghiasi pinggiran wajahnya membuatnya terlihat cowok yang benar-benar cowok.
“Aku gak jadi, Zam. Aku pikir-pikir kayaknya yang ada untuk orang lulusan Akuntansi”. Pagi itu aku berniat mau mengunjungi acara yang diadakan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia mereka mengadakan acara seminar serta jobfair yang terdiri dari beberapa perusahaan yang membuka lowongan. Sebagai seorang yang sedang mencari pekerjaan aku berpikir inilah kesempatan untuk mecari yang langsung interview jadi langsung tahu apakah diterima atau tidak. Namun itu tidak aku lakukan setelah berpikir bahwa ini adalah acara Akuntansi yang berarti kemungkinan besar dan sudah jelas rekrutmen juga untuk lulusan Akuntansi sedangkan aku lulusan Hukum.
“Iyalah, Di. Akuntansi makanya tempatnya juga di BEI, nanti pas sampai sana ehh gak ada yang sesuai sama bidang kita, pastilah kebanyakan juga buat yang lulusan Akuntansi. Kemarin waktu kau kirim infonya itu aku juga… kok acara Akuntan Indonesia…” sambil melihat pandanganya kearah seoarang anak yang sedang main perosotan. “Enak ya Dii kalo anak kecil taunya main happy tanpa beban”.
“Iyalah Zam, namanya juga anak kecil” jawabku sambil aku angkat kakiku untuk merubah posisi dudukku dengan bersila.
Suasana semakin meredup gelap sedikit-sedikit datang membuat penerangan lampu taman apartemen mulai memperlihatkan cahayanya yang menajam.
“Kau mau beneran pulang di Bulan ini, Di?” tanya Azam yang menunjukan wajah serius sedikit kecewa tak ada aku tak ada lagi temen yang nantinya diajak untuk sekedar menikmati kopi dan gorengan dipinggiran jalan Apartemen.
Aku berencana untuk balik pulang Kebumen, Setelah 6 bulan lebih keluar dari pekerjaanku, aku belum lagi mendapatkan pekerjaan. Dompet yang hanya berisi dengan banyak kartu terkadang membuatku pening. Obat resep Dokter tak mampu untuk mengobati peningku. Bagiku Jakarta kota yang begitu menarik, berat rasanya untuk segera meninggalkanya. “Iya, Zam. Rencana aku pulang bulan ini,tapi juga aku belum tau. Kayaknya juga gak bulan ini juga sih, yang jelas kalau sampai sewa Apartemen ini habis belum dapet kerja ya terpaksa aku pulang Kebumen” Jawabku dengan yakin.
Jam menunjukan pukul 17.23 suasana semakin sore semakin gelap dengan gedung Apartemen yang mengelilinginya membuat gelap begitu cepat, sedangkan jalanan masih ramai dengan suara klakson mobil serta suara KRL yang bekali kali lewat disebelah timur Apartemen. Suara palang pintu yang hampir setiap menit menutup suara palang pintu membuat ramai suara diwilayah Apartemen.
Azam juga punya rencana untuk pulang ke Ambon kalua ditahun ini sampai akhir tahun 2017 ini belum dapat kerja. Sebenarnya dia sudah ada pekerjaan, pekerjaan yang belum formal biarpun begitu masih mending Azam dibanding aku. Dia bekerja di BNN. “Aku juga kalau tahun ini gak dapet kerja di Jakarta aku juga bakal balik Ambon, Di” dengan mengambil kacamata mengelapnya di baju.
“Kampret, aku kalau ambil duit harus kesini. Deket kosku gak ada ATM”. Azam menghela nafas membayangkan betapa kerenya jauh jauh dari Pasar minggu baru ke Kalibata hanya untuk ambil duit dengan jalan kaki.
Lagian juga aneh dia ini orang, sudah tau ATM Jauh ehh ya kalau ngambil kok ya cuma 50ribu, ya mungkin dia anggap sekalian jalan jalan dan berolah raga bolak balik Pasar minggu- Kalibata dengan harapan bisa melihat cewek cantik disepanjang jalan yang dilewati maupun dalam lingkungan Apartemen.
“Ridwan, Rina itu besok tesnya”
“Lha kok kau tau?” jawabku sambil berpikir dalam sekilat, Azam ini sempet-sempetnya nyari dipengumuman nama-nama siapa yang lolos.
“Taulah, Dii.. aku kan di BNN”
“Oh iya ya, lupa aku”
“Oohh kapan kita punya pasangan ya Di? Bener katamu waktu itu diusia segini kalau kita kenalan dengan niat buat djadikan pacar ya harus serius. Tidak seperti jaman kuliah apalagi sekolah, yang dengan mudahnya nyari mudahnya putus gitu. Taunya jalan aja”.
“Iyalah Zam, sebenernya mah kalau kenalan mudah-mudah aja. Menjadi penghambat mengurangi rasa percaya diri itu keadaan kita yang belum kerja” aku berusaha mengajaknya untuk masuk dalam pikiranku dengan ucapanku “Usia segini kalau kita dapat cewek yang seusia kemungkinan besar putus dijalan kalau kita dalam waktu dekat tak kunjung dapet kerja”.
Aku menghela nafas masih merasakan rasanya berahir hubungan dengan seorang perempuan yang begitu aku sayangi, jalan memang tidaklah selalu lurus dan halus dan kendaraan pribadi juga masuk Busway.
Aku melanjutkan perkataanku, dan Azam begitu mendengarkan dengan sesekali memlihat layar handphone nya.
“Sedangkan kita, kalau aku sih. Aku mau menikmati hasil kerjaku sendiri dulu yaa buat beli baju, buat jalan jalan main sama temen….”
“Betul, Di”. Azam nyambungkan dengan ucapanku bahwa dia tak jauh beda pemmikiranya “Cewek seusia kita udah pada mau nikah kalau kita masih nganggur mendingan gak deh, Di”
“Kita mending nyari yang usianya dibawah kita 4 atau 5 tahun itu lebih baik, tapi sih kalau…” Azam muli menunjukan bahwa ada ketidaksetujuan juga dengan apa yang diuacapkanya.
Pengalaman yang telah diterimanya sewaktu kuliah “Kalau dapet cewek masih kuliah kita dengan kondisi kek gini juga mereka juga enggan, Di. Masih mending milih yang sama-sama masih kuliah, duit ada, mau kemana mana tinggal jalan secara kan mahasiswa” lanjutnya.
Dengan segenap ucapanya aku mendengaran dengan seksama yang sesekali mengangguk menunjukan bahwa benar dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh Azam.
“Kalau ada cewek yang saat ini mau dengan kondisi kita, itu luar biasa, Di”
“Iyalah, Zam” jawabku singkat.
Seorang perempuan yang menerima dan mau menunggu sampai dapet kerja, tidak buru-buru untuk minta nikah, itulah yang kami harapkan. Memang menikah itu syaratnya tidak susah dan biaya tidak mahal, bahkan gratis. Tapi yang jadi berat itu saat harus mengadakan resepsi, siapa sih yang tidak menginginkan acara pernikahan yang meriah. Menikah sekali mengikat janji untuk hidup bersama.
Kalau ada perempuan yang mengerti dengan keadaan, perjuangan ini akan menambah semangat melebihi 2000 volt dan akan terasa indah. Semangat yang membara.
Kebahagian menikah bagiku bukanlah seberapa besar acaranya, seberapa megah, seberapa banyak tamunya. Bagiku bahagia itu ketika berkumpul dengan keluarga dan teman, sahabat bisa menceritakan betapa beruntung dan bahagianya aku bisa mendapatkan wanita yang aku cintai hingga kini jadi istriku. Namun, lebih sempurna jika pesta dan acaranya megah, ramai juga.
Sekeliling taman sudah sepi, tidak ada orang yang duduk ditempat duduk taman yang melengkung terbuat dari cor semen dengan warna silver yang mulai memudar. Terlihat satpam yang berjaga, satu orang berdri sedang berbincang dengan seorang ibu-ibu, dan satunya duduk tangan kananannya memegang telepon tangan kiri sibuk membuka lembaran lembaran kertas dalam buku, seperti sedang mencari sesuatu untuk menjawab pertanyaan orang yang menelpon.
Bulatan lampu taman menyinari sekitaran taman membuat suasana semakin sendu, suara KRL terdengar sebelah timur yang merupakan perlintasan KRL.
Jarum jam menunjukan pukul 17.47 terdengar suara adzan bahwa magrib telah tiba.
“Udah magrib, Di. Kita ke Masjid?”
“Iya, ayo” jawabku dengan memutarkan badan untuk meninggalkan tempat duduk yang kami duduki sore ini.
“Yuk” Azam mengambil hand phone dan kacamata, mengenakan kacamata.
Kami berjalan menuju Masjid yang berada di Tower Cendana selisih satu tower dengan tepat kami duduk.
Berjalan melewati Laundry, Ibu paruh baya sibuk dengan lipatan bajunya merapihkan dan membungkusnya dengan plastic. Pemandangan yang selalu aku liat tiap hari kalau ke Masjid. Magrib suasana yang berbeda dengan suasana lainya.
Orang-orang berlalu lalang dengan barang bawaanya, orang berjalan cepat bahwa ingin cepat sampai tujuan.
Kami berjalan, Azam berjalan dibelakangku sambil sesekali menatap layar hand phone nya kedua jempol tanganya sibuk mengetik, dua detik ia mendongak keplanya untuk memastikan tidak menabrak sesuatu karena jalan focus dengan hand phone.
“Di”
“Ya?” kami terus berjalan bersimpangan dengan banyak orang.
Terlihat orang sibuk dengan membereskan tempat daganganya, begitu cekatan dalam merapihkan.
Dan kami melewati Indomaret, ya, aku selalu mengambil jalan lewat depan Indomaret setiap kali aku ke Masjid. Tiap kali aku berjalan depan seakan mataku ada yang menariknya dengan kuat, kakiku seakan berjalan sendiri hidup sendiri taka da kaitanya dengan otak yang seharusnya memerintahkanya untuk selalu melangkah mengambil jalan melewati depan Indomaret.
Kaca bening dengan cahaya yang terang, sebelah pintu terlihat perempuan dengan seragam berjilbab biru menarik pandanganku untuk melihatnya, biarpun hanya dengan 3 detik tapi itu membuatku ingin bahagia.
“Tuhh, Di cewek Indomaret, dia tuh cantik”.
“Itulah yang sering aku bicarakan”.
Dari awal aku tinggal di Apartemen setiap kali ke Masjid itulah jalurku, terkadang sedih ketika tak melihat dia, ouhh kenapa dengan diriku dia bukanlah siapa siapa sedangkan kenal saja tidak.
Berniat untuk kenalan, aku tau nama dia. Namanya Vika aku liat di nota saat pertama kali beli disitu. Tidak hanya Indomaret yang tower cendana, ada juga Indomaret yang tower gaharu. Dia bernama Sukma, sama seperti tau nama Vika aku lihat dari nota.
Bibir ini serasa terjahit dengan ditambah lem setiap kali mau berkenalan, berat rasanya untuk mengucap sekedar kata haii. Aku tak hentinya menatap ketika tiba untuk membayar apa yang aku beli, pulsa, rokok, maupun lainya selalu aku ke Inodmaret dengan bergantian tempat, selang seling.
Tiba kami menuruni tangga, dan sampailah di Masjid. Masih ada waktu satu menit 12 detik sebelum Iqomah.
Perutku yang lapar, membuatku ingin memasukan nasi dalam perutku. Setelah sholat magrib kami menuju warteg.

1 komentar:

  1. BROKER TERPERCAYA
    TRADING ONLINE INDONESIA
    PILIHAN TRADER #1
    - Tanpa Komisi dan Bebas Biaya Admin.
    - Sistem Edukasi Professional
    - Trading di peralatan apa pun
    - Ada banyak alat analisis
    - Sistem penarikan yang mudah dan dipercaya
    - Transaksi Deposit dan Withdrawal TERCEPAT
    Yukk!!! Segera bergabung di Hashtag Option trading lebih mudah dan rasakan pengalaman trading yang light.
    Nikmati payout hingga 80% dan Bonus Depo pertama 10%** T&C Applied dengan minimal depo 50.000,- bebas biaya admin
    Proses deposit via transfer bank lokal yang cepat dan withdrawal dengan metode yang sama
    Anda juga dapat bonus Referral 1% dari profit investasi tanpa turnover......

    Kunjungi website kami di www.hashtagoption.com Rasakan pengalaman trading yang luar biasa!!!

    BalasHapus

apalah aku nulis tanpa pembaca, kalo udah baca tinggalin jejak ya dikolom komentar.