9 Mei 2019

anatomi tangga


Suasana terasa ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan. Lampu kafe terasa syahdu dengan cahaya kuning yang redup tapi mampu menerangi ruangan yang berukuran sedang ini. Seorang pelayan menghampiriku yang sedang duduk memerhatikan isi kafe tersebut, dengan senyum ramah mengenakan jilbab biru dengan kaos yang dirangkap dengan jaket coklat. “mau pesan apa mas, silakan” katanya dengan sambil menyodorkan buku menu. “iya makasih ya mba”. “tunggu atau saya tinggal mas, silakan” “tunggu aja mba sebentar saya cuma mau pesan kafelatte sama mendoan” “baik mas, tunggu sebentar ya” “iya makasih banyak mba”.
Ini pertama kalinya aku berkunjung ke kafe ini dan ternyata disini terasa nyaman walau tidak dengan pemandangan kota semarang malam dari atas. Iya ini mungkin karena aku yang merasa lelah atau memang ini beneran nyaman untukku. Sekeliling terdapat beberapa pelanggan yang sedang menikmati makanan dan minuman yang dipesanya.
Udara malam mulai terasa dingin, walau ini tidak sedingin di semarang atas. Malam ini menunjukan pukul 10.43 malam dan aku belum pulang ke kos setelah pulang dari kantor.
Aku mulai mengambil hape yang ada saku kanan celana untuk mengecek mungkin ada pesan entah dari siapa atau syukur pesan dari seorang yang aku harapkan. “permisi mas, ini kaffelattenya sama mendoanya” “oh hiya mba, makasih banyak ya mba”. Meletakan secangkir kaffelatte dan sepiring tempe mendoan mba nya tersenyum meninggalkan mejaku.
Posisi yang aku suka saat ke kafe dan semacamnya adalah posisi dimana pandangku bisa melihat seisi ruangan, disini aku duduk disebelah kanan dekat dengan jendela, karena disinilah aku bisa melihat seisi ruangan kafe.
Terlihat seorang perempuan yang aku perkirakan usianya 25 tahun mengenakan jaket bomber hitam celana jeans mengenakan jilbab merah tua terlihat sedang mengamati jendela, sepertinya megaharapkan kedatangan seseorang. Ia terlihat gelisah sebentar mengela nafas sambil merubah posisi duduknya. Ah sudahlah kenapa aku jadi perhatikan perempuan itu.. tanyaku dalam hati.
Ini pertamaku datang ke kafe ini, biasanya setiap jum’at malam sepulang dari kantor aku hanya menikmati waktu istirahatku di burjonan sambil menunggu malam dan menikamati ahir pekanku.
Sudah menjadi seperti ritualku setiap jum’at malam ke burjonan, karena disinilah aku menemukan sambal yang begitu enak dengan telor ceplok setengah matangnya yang lezat yang belum pernah aku temukan seenak ini selama aku tinggal di semarang.
Malam ini aku duduk di kafe ini dengan secangkir kaffelatte dan sepiring mendoan kecil yang masih hangat, tatapanku tak bisa mengalihkan dari sesosok perempuan yang duduk dekat jendela mengenakan jaket bomber hitam jilbab merah tua. Sepertinya mba pelayan memerhatikanku yang tak bisa mengalihkan pandangnku ke perempuan itu. Tapi kuharap dia benar benar tidak tau kalau aku tak bisa mengalihkan pandanganku.
Aku memang bukanlah seorang polisi maupun detektif tapi aku tahu kalo perempuan tersebut sedang mengalami masalah. Sesekali aku menggeser kursiku, dan aku berusaha berdiri untuk menghampirinya.
Aku minum kaffelatteku dan aku makan tiga mendoan yang berukuran kecil ini sebelum aku beranikan diri untuk mengahmpirinya. Ku hela nafas. Berjalan menuju meja dekat jendela. “permisi boleh aku duduk disini” “silakan kalau mau mas, saya lihat tadi mas duduk disana dan sudah memesan..”. “oh iya aku memang dari tadi duduk disebelah” aku tak menyangka dan aku tak tahu kalau ternyata dia memperhatikanku. “eumm adakah seorang yang mba tunggu?” tanyaku “tidak.. iya tapi kuharap dia akan datang”.
“adakah masalah yang sedang mba hadapi?” dia menghela nafas sebelum menjawab pertanyaanku. “apakah mas bisa membantu?” “sebisa saya usahakan”. “oh tidak tidak mas tidak perlu tau apa yang sedang saya alami” tidakah pantas seorang perempuan yang telah… ah sudahlah ini sunguh tidak penting. Dia beranjak berdiri dengan ata yang berkaca “maaf mas sepertinya saya harus pergi karena yang saya tunggu sepertinya tidak akan datang.
Aku merasa bersalah menanyakan ke perempuan tadi, ku lihat dia berjalan keluar menghentikan taksi yang kemudian hilang.
Mba pelayan datang mengahampiriku yang masih duduk di kursi perempuan tadi. “adakalanya memang hal seperti ini terjadi” kata mba pelayan dengan jaket coklat yang terlihat menawan di malam itu “maksud mba?” tanyaku dengan nada penasaran.
“mba kenal dengan perempuan tadi?” mba pelayan mengambil gelas dan piring yang berisakan kentang goreng serta membersihkan meja “saya tau kenal, tapi tidak begitu mengenalnya dia beberapa kali sering kesini untuk memesan pesanan yang sama setiap datang kesini dan diwaktu yang sama"
“jum’at depan datanglah kesini aku pastikan kamu bertemu denganya lagi” “oke” aku kembali ke kursiku untuk menghabiskan secangkir kaffelatteku, ohh ini sungguh enak. Lelah telah pergi dari diriku. Dan sepertinya perempuan tadi mempunyai ritual kecil yang sama sepertiku setelah pulang kerja ahir pekan.
“haii mas baru pulang kah?” sapa temen kosku yang sedang duduk di sofa tempat nonton tv dengan seorang perempuan yang aku pastikan pacarnya. “haii juga” sapaku yang tak begitu memperhatikan untuk menambah percakapan, mata ini terasa sangat berat ingin kupejamkan tidur.
Adzan subuh berkumandang membangunkan tidurku, aku bergegas berusaha untuk bangun membersihkan mukaku mengambil air wudhu untuk sholat berjamaah di masjid. Tidaklah ada selain perjalanan yang berat dan panjang selain melangkahkan kaki ke masjid.
Fadli terlihat duduk di sofa tempat nonton tv dengan rokok yang dihisapnya. Seorang lelaki dengan postur badan yang tinggi rambut sedikit berantakan berkacamata inilah sesosok fadli. Dia seorang lulusan fakultas ekonomi Undip yang sekarang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Memang tak terlihat seperti orang pekerja, lebih terlihat seperti orang pengangguran.

“sini mas duduk dulu ngopi sama merokok menikmati hari libur yang sangat indah ini” ajaknya sambil menggeser posisi duduknya, fadli ini orang yang belum lama aku kenal setelah tiga belas hari yang lalu dia datang kesini dan kos disini. “gimana kerjaanmu dalam seminggu ini mas?” tanyanya kepadaku yang baru setengah detik duduk di sofa. “terasa menyenangkan seperti meminum secangkir kaffelatte dengan tanpa gula”. Seminggu ini aku merasa seakan bumi semarang yang aku pijak amblas. Memang tidaklah ada baiknya untuk mengeluh. Aku ambil sebatang rokok dan merokoknya 


jika ada yang baca tulisan ini, terimakasih... insyaallah jika akan aku teruskan. jika menarik bagi yang baca ini..

0 komentar:

Posting Komentar

apalah aku nulis tanpa pembaca, kalo udah baca tinggalin jejak ya dikolom komentar.